Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Desember 2010

LIVE IN OR LEAVE IT (Tinggal di Sini atau Tinggalkan Saja)


Ada pertanyaan yang selalu diajukan beberapa kepala dukuh, desa, dusun pada wilayah lereng gunung Merapi usai bencana erupsi, "Relawan mau tinggal di sini atau tinggalkan saja wilayah ini?" tanya mereka. Manakala pertanyaan itu disingkat dalam bahasa Inggris jadi asyik juga : Are you want to Live In or Leave It?" They said that.

Apa sebab pertanyaan itu diberikan kepada beberapa organisasi relawan pendamping korban erupsi Merapi?

Kalau melihat analisa dari Esti Fariah Sosiolog Pendidikan lulusan Universitas Gajah Mada Yogyakarta menyatakan : Paradigma mereka (pemerintah) yang selama ini memandang penanganan bencana sebatas 'charity' (belas kasihan) sehingga mengabaikan aspek lainnya, khususnya bidang pendidikan yaitu menjaga keberlangsungan proses kegiatan belajar mengajar anak selama dan setelah bencana.

Sementara Odi Shalahudin dari Yayasan SAMIN (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) Yogyakarta beranggapan : pertanyaan dari kepala dukuh, desa, dusun seperti itu, apakah ada pengalaman buruk? atau ada harapan tertentu? ada juga kemungkinan pihak-pihak yang provokasi mereka? Bagaimana menggali informasi dari masing-masing kepala pemerintahan lokal di lereng merapi, khususnya pengalaman saat erupsi dan usai berubahnya status gunung merapi.

Belas kasih alias Charity atau Empati warga Indonesia pada korban erupsi Merapi, memang berbatas adanya, dari keterbatasan itu tidak sedikit lembaga organisasi khusus yang meninggalkan tapak provokasi pada warga, misal masih ada spanduk/banner bertuliskan "Bantuan Kemanusiaan Yes, Pemurtadan No!", "Korban Merapi Bukan Tontonan, Kami Manusia Indonesia." dan masih banyak tulisan provokatif itu. Bahkan sebelum erupsi merapi kedua pada awal bulan Nopember 2010, wilayah lereng Merapi penuh spanduk/banner iklan rayuan produk tertentu, dari Jasa Seluler, Minuman Suplemen hingga yang berciri politis.

Tidak sedikit juga kalangan Relawan yang menanyakan 'bahan-bakar' pada relawan lain saat kegiatan pendampingan korban merapi masih berlangsung, "Dapat support darimana?" "Bagaimana kebutuhan pokok kalian?" (pertanyaan tersebut dilontarkan oleh relawan yang sudah kembali ke rumah).

***

Singkat tulisan, kembali pada pertanyaan ; Do You want to Live In or Leave It? Kearifan lokal warga di lereng Merapi masih kental, kultur warga Jawa. Apabila ada tamu, dalam kondisi apapun akan ada pelayanan ujud penghormatan. Namun kearifan tersebut mulai ada penyaringnya, berupa kecurigaan atas provokasi pihak-pihak non identitas, didahului dengan bahasa tubuh dan lirikan mata tidak wajar.

"Saat status merapi masih 'awas', banyak organisasi Relawan turun ke desa ini. Lalu setelah status berubah jadi 'siaga', mereka pulang," tutur Wahudi Kepala Desa Polengan. "Masih banyak anak-anak di beberapa dusun yang butuh pendampingan anak," ujar Toni MA Kepala Desa Kradenan. Kedua kepala desa itu berasal dari Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang Jateng.

Di sisi lain potensi energi Merapi masih besar, dan ancaman Erosi, Banjr Bandang Lahar Dingin masih nyata. Bagaimana jawabnya : Do You Want To LIVE IN OR LEAVE IT?

Bustanul Bokir Arifin
Yogyakarta, 27 Desember 2010


Minggu, 26 Desember 2010

KALAU MAU NGEMIS KE POSKO SAJA!!!


Bagaimana perasaan seorang Kepala Desa, menampung keluhan 1.882 Kepala Keluarga, 6.986 jiwa yang tersebar dalam 14 dusun, saat mendapat kalimat, "Kalau mau ngemis atau minta jatah logistik silahkan ke posko saja!!!" ujar salah satu aparat kecamatan di kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Sebagian cerita pilu itu dituturkan oleh Toni Miftahul A. (35) di kediamannya desa Kradenan Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang. Ahli-madya bidang komunikasi tersebut masih muda dan baru 3 tahun menduduki jabatan Kepala Desa. "Tidak pernah duga kalau gunung Merapi kirim hujan batu dan abu di desa ini. Sejak bencana itu banyak warga yang gantungkan hidup pada hasil pertanian jadi trauma," kata Toni

Upaya Toni, sebagai penanggung jawab nasib warga desa, tidak kenal menyerah. Bahkan beberapa harta benda milik keluargapun dihibahkan pada warga, "Paling resah saat warga datang meminta logistik, lalu dia melihat beras yang kami punya, mau tidak mau selaku kepala desa kuberikan pada warga, meski di malam hari anggota keluargaku sempat protes. Alhamdulillah keluargaku mau mengerti," lanjut Toni.

Konon sejak erupsi kedua, wilayah desa Kradenan tertutup abu vulkanik dalam ketebalan lebih dari 20 sentimeter. Sebagian warga terutama anak-anak dan perempuan mengungsi lebih dari 30 hari di Posko GOR (Gedung Olah Raga) Armada Mertoyudan Magelang. "Ternyata ada imbas lain dari 'nikmat' menggungsi pada warga, menurut mereka saat mengungsi apa yang diminta pada petugas posko akan dipenuhi, namun saat kembali ke rumah kemanjaan itu masih membekas. Kami butuh support atas bangkitnya semangat warga," tandas Toni.

Pada saat status Gunung Merapi masih awas, wilayah Kradenan sepi, lalu sejak status Merapi turun jadi Siaga, warga kembali ke rumah. "Pernah ada 35 mahasiswa turun ke desa kami, mereka relawan yang mendampingi warga dan anak-anak. Namun pendampingan itu tidak berlangsung lama," ujar Sarjono (39) warga Kradenan.

Saat paling gundah bagi Toni adalah masa memperjuangkan bantuan logistik untuk warga, "Dari pihak kecamatan, hingga kantor-kantor terkait bencana selalu ada jawaban sama : Kalau mau jatah Logistik silahkan warga ke posko alias ngungsi lagi," keluh Toni. Padahal kebutuhan warga nyata yakni logistik bahan pokok selama kebun-kebun salak dan sayur mayur bertunas kembali.

Catatan tambahan : warga desa Kradenan dikenal sebagai petani ulung juga daerah penghasil olahragawan terbaik dalam bidang Volleyball, Bulutangkis dan Sepak Bola.

Bustanul Bokir Arifin
Yogyakarta, 26 Desember 2010

Kamis, 23 Desember 2010

ANTARA ERUPSI, EROSI dan EMOSI

Puluhan sepeda motor sudah siap pada tepi jalur utama evakuasi warga di desa Glagaharjo kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Milyaran rintik air hujan bercampur kabut menjadi selimut warga pada Kamis sore (23/12) itu.


Warga menghadapi problem nyata, setelah pulang dari lokasi pengungsian di kaki gunung Merapi. Pada sebagian dusun mereka tidak ada lagi pohon, akibat Erupsi dua kali, muncul bahaya Erosi (tanah longsor). Trauma dan Emosi mengaduk-aduk warga, 'sampai kapan akan aman?' doa mereka diantara gemeretak gigi akibat dinginnya udara.


Desa Glagaharjo berada dekat dengan jalur utama Sungai Gendol, sungai yang tampung sampah Erupsi, dari materi vulkanik, hingga batang-batang bangkai pohon hangus. Selain itu di wilayah hulu sungai Gendol sudah tidak ada lagi hutan penahan curah hujan. "Hujan sepanjang siang telah timbulkan banjir bandang, warga dewasa dusun Ngancar (desa Glagaharjo) segera kerja bakti buat alur air darurat," ujar Prastowo (25) warga Dusun Ngancar.


Prastowo dan beberapa warga dewasa dusun itu, lewati senja hari dengan tubuh penuh lumpur akibat banjir bandang, meski berskala kecil namun nyata kerusakannya. Belum lagi alur sungai Gendol saat jelang malam muali memuat sampah-sampah hasil erupsi. Asap-asap putih hasil tautan air sungai dan bara material vulkanik yang terpendam di alurnya seolah asap Kereta Api Horor di senja itu.


Emosi warga bercampur trauma, emosi relawan bercampur lambatnya proses birokrasi Pemerintah Daerah setempat. Kamis malam Balai Desa Glagaharjo tambah penghuni, beberapa warga korban merapi yang sudah 50 hari lebih berteduh di Stadion Maguwoharjo Sleman sudah dipindah paksa. Kedatangan mereka tidak disambut tawa, namun peluk haru atas sama nasib. Usai adzan Isya beberapa Relawan Front Pembela Islam gelar pengajian di Balai Desa itu, memanggil beberapa ustadz dengan ceramah pelipur lara.


Bustanul Bokir Arifin
Yogyakarta, 23 Desember 2010

Rabu, 22 Desember 2010

ADA PSIKOPAT DI 149.07 Mhz MERAPI


"Kontek... Induk... Balerante, dikabarkan warga dusun Sedayu Sleman melihat sosok harimau berkeliaran di lingkungan mereka.... kkrrrrrrkkkk.....(blank)," demikian suara dari speaker penerima dari pesawat radio pemantau kegiatan Relawan Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta.


Sejak bencana Erupsi Merapi, sarana komunikasi radio jenis Handy Talky dan RIG sangat penting. Sayangnya komunikasi lewat gelombang radio tidak luput dari gangguan berupa 'Jem' (istilah dalam komunikasi radio -- upaya ganggu suara informasi). Sampai saat ini pihak Polisi sudah menangkap beberapa warga sekitar Merapi yang diduga sebagai pengganggu komunikasi radio. Uniknya sampai tulisan ini dibuat gangguan masih saja terjadi.


Pola Psikopat jelas tampak pada pelaku gangguan komunikasi tersebut. Sebab selama gelombang 149.07 MHz digunakan untuk 'ngobrol' diluar info korban merapi atau kabar baru terkait warga, tidak muncul gangguan atau penghambatan informasi. Lalu manakala ada Informasi penting, gangguan muncul pada jam berapapun.


Hal istimewa dari elite pemerintah daerah sekitar merapi, (baik Sultan, Bupati, Camat, Polisi, Dandim, hingga pihak yang merasa jaga keamanan warga) sama sekali tidak ada tindakan nyata untuk melancarkan informasi via gelombang radio. Hal ini menjadikan posisi Psikopat Pengganggu Gelombang Radio tersebut nyaman, lalu apa salahnya bila ada dugaan gangguan justru datang dari elite Pemerintah Daerah sekitar gunung Merapi?


Pernah gangguan tersebut menjadi bahan diskusi serius di kalangan organisasi Relawan yang mengurus korban Merapi, laporan kepada pihak Polisi konon sudah dilakukan. Namun tetap saja Psikopat Pengganggu komunikasi radio ada, dan tetap ada yang MEMELIHARANYA!!! Sudah sesakit itukah kondisi warga di sekitar gunung Merapi?


Bustanulis Bokir Arifin
22 Desember 2010

Selasa, 21 Desember 2010

WARGA KORBAN MERAPI TIDUR BERSELIMUT DINGIN

Hasil Investigasi di beberapa dusun dekat puncak merapi : ELITE PEMERINTAH DAERAH TIDAK PEDULI KORBAN MERAPI !!

Sebelumnya aparat desa Tlogo (Klaten) pidah paksa korban merapi yg bernaung di Balai desa, kini Aparat Desa Glagaharjo (Sleman) lakukan hal yang sama yakni pulang paksa korban ke dusun yang dingin.
Pernyataan warga kepada kami, semua aparat desa, camat, bupati pada wilayah korban merapi tidak pernah beri informasi valid terakit perkembangan kondisi gunung merapi, banyak info-kabur. Akibat simpang siur informasi, dikaburkan oleh elite Pemerintah Daerah, banyak warga korban merapi jadi gelandangan di kampung sendiri.

Warga dusun Ngancar desa Glagaharjo kecamatan Cangkringan Sleman diperintahkan pulang dengan alasan Balai Desa Glagaharjo akan dibersihkan, info berasal dari aparat desa. Warga dusun Srunen Kepuharjo kecamatan Cangkringan sudah tanda tangan pada kertas bermaterai, untuk alasan ganti ternak yang mati, sampai sekarang bantuan tidak di tangan warga.

Banyaknya korban jiwa warga dari desa Glagaharjo pada erupsi merapi kedua akibat tidak pernah ada perintah evakuasi dr aparat desa. Mayat-mayat korban erupsi merapi kedua (5 November 2010) asal desa Glagaharjo sebagian ditemukan sekitar jalur evakuasi dekat sungai Gendol. Sebagian besar warga yang selamat dari erupsi kedua, melakukan evakuasi atas inisiatif sendiri, bukan atas perintah aparat desa.

Ir Surono pernah sampaikan kegelisahannya atas tidak lancarnya sosialisasi aparat desa terkait informasi dari PVMBG pada warga korban merapi. Demikian hasil investigasi dengan sumber warga korban merapi, Elite pemda (Muspida) harus TANGGUNG JAWAB!! Jangan asyik nyenyak TIDUR HANGAT, sementara ratusan keluarga warga korban merapi tidur beralas tikar di dusun dingin tandus. Apalagi bantuan 'Genset' sebagai pembangkit listrik sementara tidak aktif akibat tidak ada bantuan BBM, warga disarankan cari bahan bakar mesin tersebut secara swadaya.

Bustanul Bokir Arifin
Yogyakarta, 21 Desember 2010




Senin, 20 Desember 2010

Srunen Wilayah Bebas Monyet

"Sekarang wilayah ini sudah bebas monyet," ujar Tyasno S (64) warga dusun Srunen desa Glagaharjo kecamatan Cangkringan Sleman DIY. Tyasno menuturkan kondisi dusunnya sembari duduk dekat perapian, pada Senin (20/12) tengah hari yang diselimuti rintik gerimis rapat. Sesekali asap tipis udara hangat keluar dari sela-sela bapak 6 anak itu, udara memang dingin akibat gerimis sejak pagi hari.

Warga Srunen sejak dasawarsa terakhir sulit bertanam tumbuhan pakan manusia, sayur maupun buah-buahan akibat diganggu hama 'monyet' (macaca fascicularis), "Pernah ada bantuan benih tanaman jambu dari pemerintah, sebagai sarana alih perhatian monyet. Sayangnya usai bibit ditanam, esok harinya dicabut oleh monyet," tambah Tyasno.

Kini kondisi dusun Srunen bukan wilayah yang disukai monyet-monyet tersebut, selian masih banyak bau lemak bangkai sapi dan kambing, juga material vulkanik hasil wedhus Gembel telah menyisakan tapak bau yang tidak disukai mamalia berekor panjang tersebut.

Sebelum bencana erupsi merapi, warga Srunen mengandalkan mata pencaharian dari tanam tumbuhan Sengon dan beternak mamalia berkaki empat. "Korban jiwa di dusun ini hanya dua warga jompo, saat bencana (erupsi kedua) datang seluruh warga sudah mengungsi ke arah Timur gunung, menghindari alur hilir sungai Gendol," pungkas Senen (60) istri Tyasno, dia menerangkan hal tersebut sambil melipat daun sirih yang sudah dicampur berbagai bahan untuk hobby 'nyirih-kinang' khas nenek-nenek lereng Merapi.

Adapun tempat tinggal keluarga Tyasno masih kukuh berdiri, dinding batako tidak mempan oleh terpaan awan panas. sementara bangunan dapur mereka serta kandang ternak yang terbuat dari dinding bambu sudah rata dengan tanah.

Sejak pagi Tyasno dan beberapa kerabatnya sibuk mengamati beberapa turis yang datang melihat hasil 'Karya Merapi', beberapa dari mereka menjaga portal/penghalang jalan dari bambu sebagai loket darurat bagi pendatang yang terpukau atas pemandangan bencana vulkanik. Pada setiap tamu yang melintasi portal akan dimintai sumbangan sukarela.

Harapan Tyasno saat Srunen sudah terbebas dari hama Monyet adalah bisa bertanam jagung, kacang tanah dan Sengon. "Dulu kebun sengon kami pernah ditawar hasil kayunya senilai 30 juta rupiah, namun tidak kami jual. Kini akibat bencana ini terpaksa dijual dengan harga apa adanya, dan bantuan ganti ternak mati belum ada kabar. Kemarin kami hanya tanda tangan kertas bermatere, " keluh Tyasno.

Bustanul Bokir Arifin

Senin 20 Desember 2010


Sabtu, 18 Desember 2010

Wajah Pasrah di Serambi Rumah

Suro di puncak gunung Merapi kala ini, tidak lagi berhias wajah tekun menyimak pagelaran wayang kulit. Apalagi mengingat akan masa dua puluh tiga bulan lalu, dimana pentas lakon wayang "Lumbung Tugu Mas", pernah hibur warga juga tanam asa akan kemakmuran di kemudian hari. Kini suasana Suro di sekitar Tutup nDuwur alias puncak gunung terkuas wajah pasrah di serambi rumah.

"Biasanya tiap awal Suro, kami mencuci baju khusus pemberian Sultan, pada bantaran sungai dekat dusun ini," ujar Kardiyono (80) warga kompleks Relokasi Pelem dusun Ngandong desa Girikerto kecamatan Turi kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Baju khusus 'satu stel' dari blangkon, beskap hingga kain batik motif penunjuk status Abdi Dalem, milik Kardiyono hingga kini belum sempat dicuci dengan ritual khusus. "Baju Abdi Dalem itu dihadiahkan kepada kami karena garis keturunan Kyai Sarngadi sesepuh Abdi Dalem Ndoro Kanjeng Magelang," tutur Kardiyono. Adapun kondisi sungai sudah dipenuhi material vulkanik dan lahar dingin, hal itu membuat proses pencucian dibatalkan. Hanya pasrah pada kondisi.

Bukan hanya itu, saat singgah di salah satu rumah pada kilometer 4 dekat puncak Merapi, bentuk 'Jadah Bakar' salah satu jenis kudapan untuk tamu saat bulan Suro pun tidak beraturan. Dalam kondisi normal, biasanya kudapan Jadah Bakar akan dibentuk persegi empat atau jajaran genjang. Namun paska bencana erupsi akhir tahun ini bentuk kudapan itu disajikan seadanya. "Mungkin akibat dibuat dalam suasana hati yang tidak menentu," tutur Mujiman (60) sesepuh dusun Ngandong desa Girikerto, dengan mimik pasrah.

Wajah-wajah pasrah lain bisa disaksikan manakala menyusuri dusun-dusun dekat puncak Merapi, dari Turgotegal, Kaliurang, Kinahrejo, Petung hingga Kepuharjo (rute Lava Tour dari Kecamatan Turi ke Cangkringan). Apalagi pada wajah anak-anak muda yang tinggal pada wilayah tapak Wedus Gembel, mereka menyodorkan wadah penampung uang receh, sambil berkata "Sumbangan Sukarela..." kepada turis-turis pengagum amuk alam gunung Merapi.

Bustanul Bokir Arifin Yogyakarta
18 Desember 2010






Rabu, 15 Desember 2010

APA ANDA TAKUT DENGAN KORUPTOR?

Akhir-akhir ini banyak kabar di media massa (online, cetak, radio, burung) bahwa upaya pencegahan korupsi serta proses hukum-nya berada dalam kemunduran. Sejak adanya kabar tarung 'Cicak-Buaya' upaya pemberantasan para koruptor terlihat jalan di tempat. Kalau boleh bertanya mengapa pemberantasan Korupsi mundur, apa anda takut dengan koruptor?

Mitos keperkasaan koruptor tampaknya sudah mendarah daging pada isi kepala mayoritas warga negeri ini. Ada mitos yang menyatakan koruptor itu kebal hukum karena didampingi ahli hukum, berduit lebih banyak dari punya negara, bisa bunuh siapa saja tanpa dihukum, dan koruptor sudah ada di surga sebelum mati.

Bagaimana warga negeri ini? Apa mereka juga takut pada koruptor?
Padahal di negeri yang aturan hukumnya sudah jelas juga sudah banyak Undang-undang hingga peraturan-peraturan lain yang menyatakan pemberantasan korupsi. Apakah dengan melawan koruptor malah kena tangkap aparat hukum, atau melawan koruptor akan dibunuh tanpa jejak, melawan koruptor akan dipukuli massa sampai mati?

Oleh karena itu perlawanan terhadap Koruptor harus dilakukan lagi. Harus digembirakan lagi, diramaikan lagi. Kalau memang warga yang melawan koruptor harus mengurus ijin resmi ke berbagai pihak tentu tidak akan mendapat kesulitan. Coba warga katakan kepada ketua RT/RW (rukun Tetangga/Rukun Warga), Lurah/Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri hingga Presiden, keinginan untuk melawan korupsi, ini dilakukan agar jelas, agar menjadi perlawanan yang nyata, perlawanan yang terang-terangan, bukan gerilya bukan gerakn bawah tanah.

Apa yang harus dilakukan untuk melawan korupsi? Komisi Pemberantasan Korupsi negeri ini tentu sudah banyak mencetak bahan-bahan tertulis yang bisa dijadikan alat pelajaran dan pemahaman untuk warga. Jelas ini tidak melanggar hukum, pemakaian bahasa sederhan juga harus dilakukan, agar warga paham, Koruptor adalah maling duit rakyat, Koruptor adalah jahat dan kejam. Ceritakan riwayat derita warga akibat ulah koruptor se-jelas-jelasnya.

Siapa yang akan melakukan perlawanan korptor itu? Mulailah dari pembaca tulisan ini. Syaratnya sederhana ada KEMAUAN, KEBERANIAN, KEPRIHATINAN atas ulah koruptor, dan KEIKHLASAN.

Kalau masih takut coba tanya kepada semua pihak penguasa, apa mereka akan melawan gerakan ini?

Saran untuk para penentang Koruptor :
1. Penjelasan kejahatan korupsi diberikan kepada mereka yang wam dan belum tahu apa itu penjahat yang bernama KORUPTOR.
2. Bila yang ikut dalam perlawanan hanya sedikit, jangan putus asa, lakukan terus.
3. Untuk sementara lakukan perlawanan dan pembelajaran dari dalam rumah masing-masing.
4. Jangan takut untuk menyatakan LAWAN KORUPTOR
5. Dalam pembelajaran pakai bahasa yang sederhana dan mudah dipahami warga
6. Pembelajaran dilakukan secara swadaya, kalau memang butuh bantuan dana pasti ada orang kaya yang akan membantu.

SELAMAT MELAWAN KORUPTOR

Brebes, Januari 07 2010
(Terima kasih kepada Jiwa AR Fachrudin yang telah ajarkan tulisan ini)

Kisah Paidi dan Amijo

Rabu (15/12), tengah hari sengaja temui Paidi (32) di rumahnya dusun Tritis desa Girikerto kecamatan Turi kabupaten Sleman DIY. Rumah itu berdinding kayu dengan alas tanah, di serambi ada beberapa onggok kayu bakar dan sebuah batu asah. Pada sisi rumah ada beberapa drum penampung air hujan, ya alat tadah hujan untuk sediaan air bersih.

Paidi selalu saja menjabat tangan dengan hangat dan senyum khas, sambil berkata "Kami senang bila ada kawan baru, dan tidak hanya ingat saat masa darurat merapi," ujar Paidi.

Berawal dari pembicaraan tentang kondisi dusun penuh timbunan debu vulkanik, sekelebat kepak sayap elang Jawa, Paidi menitikkan air mata, "Iya, memang hal yang salah namun aku harus melakukannya, demi nenek," papar Paidi.

***

Mayoritas warga dewasa di dusun Tritis anggap Amijo (80) perempuan sepuh ini sebagai pribadi yang unik. Keseharian waktu selalu diisi dengan kerja mencari rumput untuk ternak dan merawat kebon salak siapapun. Karena rutinitas yang unik Amijo dianggap warga ; jadi wadah spirit Ki Sapu Jagad, salah satu spirit penunggu Gunung Merapi.

"Geluduk dari Utara yang kemarin (erupsi Merapi) itu pengalaman yang ke sembilan, dan Amijo tidak pernah turun ke bawah," kilah Prijo (72) salah satu saudara Amijo.

Demikianlah, warga dusun Tritis sadar benar, bahwa sejak jabang bayi hidup di sekitar gunung berapi, gempa vulkanik sudah berkali-kali mereka rasakan, "Kami tidak mencatat tahun-tahun amuk dari Utara, namun kami mengalami turun gunung sejak jalan masih setapak hingga beraspal," tambah Prijo.

Salah satu sikap sosial Amijo yang selalu membuat kaget warga adalah kepeduliannya pada tumbuhan di kebun, baik ubi kayu hingga salak selalu dirawat dengan tangannya, tanpa memperdulikan pemilik kebun.

***

Sepanjang bertutur kisah, bulir-bulir air mata sesekali curi tetes dari sudut mata Paidi, dia menjaga betul rasa hormat kepada neneknya. "Sejak ada hujan krakal dari arah Utara, sebagian kecil warga tidak turun gunung. Mereka tetap bertahan untuk mengurus ternak dan kebun. Bahkan ada yang bolak-balik naik turun gunung," kata Paidi.

Selama masa gawat di sekitar puncak Merapi, Paidi tidak melupakan tugas utama merawat Amijo dan cari rumput untuk 3 kambing peliharaannya. Sedangkan istri dan anak perempuannya dititipkan pada pos penampungan korban merapi sejauh 20 kilometer lebih dari rumahnya.

Minggu pertama sejak amuk Utara, tidak ada penjagaan ketat di jalan-jalan menuju dusun. "Waktu itu perjalanan tetap lancar untuk antar makanan bagi nenek. Lalu mulai hari ke 6 ada penjagaan dari Polisi dan Tentara (TNI), kalau dicegat mereka, saya tantang untuk antar makanan atau rumput yang kubawa menuju rumah. Semua tidak ada yang terima tantangan itu," ujar Paidi.

Abu-abu adalah warna dominan dusun, karena abu dan material vulkanik seolah tumpah ke segala sudut tempat, "Sulit sekali mencari warung makan yang ada, karena kalau nasi bungkus dari bantuan itu cepat basi bila dibawa ke rumah nenek Amijo. Jadi usai potong rumput di lokasi yang tidak diselimuti abu, aku mencari warung untuk beli nasi dan lauk kesukaan nenek," papar Paidi.

Sementara 250 meter di sebelah Timur dusun mengular Kali Bedog, hulu sungai yang melintas di jalur-jalur utama kota kabupaten Sleman. Paidi melakukan misi ulang-alik dengan sepeda motor tua dan sebuah radio telekomunikasi HT (Handy Talky) yang dibeli di pasar Klitikan (loak). "Kami memang anggota Pasak Merapi, pengawas aktivitas puncak gunung. Radio ini untuk mengetahui gelombang sinyal seismograf yang dipancarkan oleh posko Induk Balerante. Sayangnya komponen panel radio ini sudah terganggu, namun tetap setia temani," tegas Paidi.

Misi ulang-alik Paidi sukses hingga hari ini, bahkan saat menuturkan kisah Amijo, sang nenek itu masih beraktifitas di ladang. "Kali ini masalah warga adalah air bersih, mata air memang sudah dibersihkan dari penghalang namun pipa paralon untuk menyalurkan air itu rusak, dan kami tidak punya dana untuk beli," tutur Paidi

"Kalau saja ada yang mau belikan aku Radio Komunikasi, aku akan bersyukur. Sebab seringkali dalam komunikasi antar pasak merapi, rumah ini menjadi Induk Informasi," tutup Paidi atas kisahnya.

Usai pamit, kami melihat Paidi mengambil arit dan mengasah pada batu asah samping rumah, hendak cari rumput untuk kambingnya.

Bustanul Bokir Arifin
Kamis 15 Desember 2010

Senin, 13 Desember 2010

40 Hari Batas Empati Warga?


Petang hari pada Senin 13 Desember 2010, bagi warga dukuh Ngancar desa Glagaharjo kecamatan Cangkringan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, begitu sakral. Menurut warga kesakralan dirasakan karena sudah 40 hari mereka jadi bagian korban erupsi gunung Merapi. Lalu merupakan sebuah malam dalam bulan Suro penanggalan adat Jawa, ditambah mereka kumpul dalam kondisi tidak lengkap akibat tetangga dan sanak saudara telah dipanggang panas Wedhus Gembel.

Tikar plastik pun sudah digelar pada ruang utama rumah kepala dukuh Ngancar, beberapa perempuan matang sibuk bersihkan piring dan gelas, teh panas manis dan beberapa potong gorengan serta delapan toples berisi biskuit bantuan warga luar wilayah yang tidak dikenal. "Kami tidak kenal siapapun yang beri bantuan, dari bahan makanan, kue, susu, tikar, baju, obat-obatan, hingga ruang untuk tidur keluarga kami. Kami sudah beberapa kali pindah lokasi untuk berteduh dari hujan dan panas. Hanya doa dan doa lalu doa kepada Gusti Murbehing Dumadi sebagai upaya kami membalas kebaikan mereka," tutur Ngatijan (45) warga setempat.


Makin gelap malam, kabut pun makin pekat, beberapa puluh meter dari rumah kepala dukuh merupakan padang luas terbuka berhiaskan tonggak-tonggak bangkai pepohonan separuh arang. Ada tiga pedukuhan kini terkubur pasir dan bebatuan, ungkap warga. Sesekali bau khas minyak lemak bangkai tercium samar-samar. Mereka yang berkumpul menghibur penciuman dengan rokok linting bercampur klembak dan menyan.


40 hari akankah menjadi batas empati seluruh penduduk 4 kabupaten, dua propinsi, satu pulau dan satu negara? Sebelum berkumpul panjatkan doa, siang hari beberapa warga sempat melihat televisi di Balai Desa Glagaharjo yang menjadi pusat penyaluran bantuan. Berita tentang sidang wakil rakyat yang membela tahta raja, "Kulo mboten ngertos perkawis wau siyang teng televisi, (Saya tidak tahu/paham perkara tadi siang di televisi)," tambah Ngatijan.


Apa yang harus dikabarkan pada warga? Duhai pengatur warna buah cabai, ijinkan warga dukuh yang tinggal separuh penduduk memanjatkan doa, semoga 40 hari bukan batas empati bangsa pada derita korban Merapi.


Bustanul Bokir Arifin

Cangkringan, 13 Desember 2010