Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

Perahuku Adalah Surgaku



Riwayat kebudayaan pelaut Indonesia, sering ditulis penuh pernyataan bombastis maskulin, terutama bila membaca pada media milik pemerintah. Lalu manakala bertemu wilayah kepulauan tempat tinggal pelaut-pelaut sebenarnya, akan terbuka beberapa fakta unik bahwa dunia pelaut penuh warna romantis dan feminin.

Sebagaimana pada kehidupan suku Melayu Laut di Pulau SIantan Kabupaten Kepulauan Anambas, tampak kental nuansa romantis dan feminin. Berikut sekelumit catatan mengenai kehidupan mereka.

***

Awalnya Abang Shaleh (72) berencana pergi memancing di laut bersama kawan Pak Bahar (63), keduanya sepakat berangkat mancing dengan Perahu Pompong ukuran besar yang selalu sandar pada dermaga dekat Pasar Ikan Siantan. Waktu melaut yang disepakati keduanya pukul 16.30 kumpul bersama 5 kawan lainnya.
Bekal memancing sudah disiapkan oleh Shaleh dan Bahar, bekal berupa peralatan pancing tanpa joran (tangkai galah pancing), satu tabung simpan nasi hangat dengan lauk rendang ikan, kue boludan roti khas Tarempa serta satu botol plastik kopi hitam, 6 buah minuman kaleng 8 buah air mineral dalam kemasan botol plastik.
Menjelang lepas sauh kapal, tiba-tiba Shaleh batal ikut serta, "Bahar, awak tak jadi ikut mancing kali ini, istriku marah-marah, bisa perang esok hari," pamit Shaleh. Bahar pun menyepakati batalnya Shaleh ikut serta. Apa sebab kemarahan istri bisa membatalkan niat Shaleh mancing? Dalam penuturan beberapa warga ada kesepakatan tak tertulis bahwa restu istri merupakan salah satu syarat penting untuk pergi melaut. Shaleh pernah bertutur bahwa dirinya lebih baik tidak melaut daripada istri murka hingga dapat celaka di samudera. "Wah, doa istri itu penting, pernah ada kawan menampar istrinya saat dia paksa diri melaut. Tentu kami batal ajak dia, sebab beberapa kali ada musibah akibat tidak direstui istri," papar Shaleh suatu ketika.

***

Mesin Kapal pun distel, suara derunya mirip raung mobil jeep. Tali-tali tambat mulai diurai agar lambung kapal leluasa bersiap luncur diatas permukaan air asin itu. Juru mudi sudah berada di kabin sementara 5 orang lainnya mulai periksa alat pancing dengan teliti. Kapal dengan lebar lambung 5 meter dan panjang 10 meter itu pecahkan ombak didepan haluan menuju laut lepas.

Tidak banyak perbincangan antar penumpang kapal sore itu, hingga tiba pada lokasi yang dituju sebuah wilayah perairan dalam penuh terumbu karang. Ternyata ada 9 kapal Pompong ukuran kecil menunggu di lokasi yang sama. Lalu kapal milik Bahar segera lempar tali agar tertaut lambung satu dengan lainnya. Ibarat kumpulan hewan dalam lembah perburuan, kapal-kapal ini tertaut sama-sama memancing ikan.

Bila melihat isi kapal Pompong ukuran kecil milik warga suku Melayu Laut, banyak inovasi tekhnologi nautika, dari cara menempatkan mesin kapal, alat pompa tangan penguras air dalam isi lambung, ada juga sekian perkakas praktis yang dibuat fleksibel agar tidak hambat ruang gerak awak (lebih mirip pola atur perkakas dapur yang feminin). tangkai kemudi bongkar pasang (knock-down), genset lampu, lampu petromaks (untuk kapal kecil), serta ruang tidur dalam kabin kemudi.
Hampir semua pemancing di lokasi tersebut memiliki satu perkakas alas potong umpan, alat tersebut lebih mirip papan kayu alas potong pada dapur ibu-ibu di darat. Para pemancing biasa memakai umpan daging cumi-cumi, satu ekor cumi-cumi ukuran sedang akan dibelah dan diiris sedemikian rupa agar bisa dijadikan umpan pancing berkali-kali.
Pukul 17.30 semua awak kapal pemancing mulai ulur senar, satu demi satu ikan Giant Trevalli (latin-caranx ignobillis), kakap merah (latin Lutjanus sp), serta ikan-ikan komunitas terumbu karang lainnya pun terpancing dan ditarik naik ke dek kapal. Bila beberapa menit kemudian umpan tidak dimakan ikan, maka kapal pompong ukuran besar akan membimbing kapal-kapal lainnya menuju lokasi kumpulnya cumi-cumi dan teri.
Hal unik terjadi satu setengah jam berikutnya, tiba-tiba semua tali pancing digulung. Semua pemancing makan malam dan tidur. "Jelang malam ikan sudah tidak makan umpan, biasanya mereka akan kena pancing nanti saat subuh," kata Bahar sambil siap-siap tidur. Selama waktu tidur tersebut tampak kenyamanan pada masing-masing pemancing (juga didukung faktor cuaca yang bagus), mereka tidur dalam buaian ombak. Buaian ibu samudera yang hangat, membuat lelap dan nyenyak. Selama tidur kapal-kapal tetap mufakat terkait satu sama lainnya. Malam itu ada 12 kapal bersatu tali nikmati malam.
Sementara lampu-lampu kapal bersumber tenaga dari genset atau disesel kapal tidak dimatikan. Guna dari lampu-lampu tersebut untuk mempertahankan kelompok ikan cumi-cumi dan teri agar tidak pergi jaun dari bawah lambung kapal. Polah gerak cumi-cumi dan teri lebih mirip pola terbang nyamuk-nyamuk di daratan, tak beraturan dan liar.
Sebagai penanda waktu subuh, ada beberapa alat pancing yang dipasang tentu saja ditata sedemikian rupa hingga menjadi alarm penanda waktu. Begitu alarm tersebut beri tanda maka pelan tapi pasti para pemancing bangun dari tidur dan mulai memancing lagi. Hingga saat pagi kapal-kapal akan melepaskan ikatan tali untuk menuju dermaga dekat rumah darat awak mereka.

Tidak semua pemancing itu nelayan, sebagian dari mereka ada pegawai negeri sipil, sepulang rumah mereka bisa ke kantor dengan segar, sebab malam sudah nyenyak tidur dalam buaian ibu samudera.

***

Kalau warga kultur Agraris menyatakan Rumahku adalah Surgaku, maka suku Melayu Laut berkata : Perahuku adalah Surgaku. Home Ship Home ...

Tarempa, Pasar Ikan Siantan, Rabu Juli 06 - 2011