Total Tayangan Halaman

Jumat, 18 Oktober 2013

Benteng Terakhir Penegakan Hukum



Media massa Indonesia pada tahun 2013 ini tekun kabarkan kasus hukum pilihan yang mengusik rasa keadilan pada masyrakat,  belum lagi Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) juga menangani kasus 'suap' antara Hakim dan Advokat. Sisi lain kabar sosialisasi Inpres No. 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan Pemberantasan Korupsi  dan Nilai-nilai Anti Korupsi di lingkungan Mahkamah Agung Repbuli Indonesia hanya dibaca pada kalangan terbatas.

Pilihan redaksi media massa dalam penyajian kabar untuk masyarakat sering dirasa tidak setimbang, tentu hal ini bisa menggubah persepsi pada tegaknya hukum Indonesia. Kenyataan yang ada masih banyak aparat Hukum bekerja sepenuh tenaga dan waktu demi penegakan Hukum.  Dan mereka adalah Benteng Terakhir Penegakan Hukum bagi masyarakat.

Lalu bagaimana menguatkan dinding 'benteng' ini, dari gempuran persepsi miring masyarakat akibat pengaruh media massa?  Beberapa kasus hukum tertentu saat ini diijinkan dapat pengawalan dari penasehat hukum/pengacara/advokat, bahkan sejak awal proses penanganan kasus oleh pihak kepolisian. Contoh baru adalah kasus kecelakaan lalu lintas di kilometer 8 jalur Tol Jaborawi Jawa Barat, yang melibatkan anak kandung selebritis Indonesia. Kasus-kasus dengan perlakuan khusus ini jelas butuh perhatian khusus pula pada petugas dalam institusi Yudikatif Indonesia. Bila kasus ini dapat mulus menuju proses persidangan di hadapan Majelis Hakim, akan dapat perhatian  khusus media masa dan masyarakat.

Banyak praktisi hukum menyatakan prinsip hukum; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Equality before the law, also known as equality under the law, equality in the eyes of the law, or legal equality | Der Gleichheitssatz ius respicit aequitatem, „Das Recht achtet auf Gleichheit“, ist ein Grundsatz im Verfassungsrecht | dikutip dari situs wikipedia). Namun hal ini seolah kabur pada kasus khusus, misal penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan anak seorang Menteri Koordinator. Betapapun ada beberapa media massa berpihak pada menteri terkait. Disini dalam kasus khusus ada tekanan khusus dari luar institusi peradilan.  

Tekanan khusus pihak luar institusi peradilan kadang dirumuskan oleh penasehat hukum (pengacara/advokat) bersama pembuat opini massal (media massa). Menghadapi tekanan khusus ini institusi peradilan boleh berlawan, tentu saja secara legal, semisal menggunakan hak jawab atas kabar maupun opini yang diterbitkan media massa secara imbang. Sedikit masyarakat yang tahu bahwa menteri, tokoh partai politik, pengusaha kaya, selebritis ; mereka mempunyai tim 'pecitraan' dan pembuat opini untuk media massa. Manakala mereka ada kasus dengan institusi peradilan, maka tim 'pencitraan akan bekerja keras menebar opini publik agar berpihak pada mereka. Sayangnya Tim 'pencitraan' berbiaya mahal, bagaimana jika Institusi peradilan mulai melakukan pelatihan kerja sebagai tim 'pencitraan' untuk keperluan kasus-kasus khusus ini.

Mungkin membentuk tim pencitraan akan mengganggu kerja pokok lembaga peradilan, bila kenyataan demikian, maka bisa mengambil pelajaran dari tata tertib atau aturan khusus Institusi Peradilan di negara lain. Beberapa negara ada yang memberlakukan aturan ketat untuk peliputan wartawan atas kasus-kasus khusus. Alat rekam berupa kamera video maupun potret dilarang keras masuk ruang persidangan. Bahkan wartawan bisa menulis kabar manakala institusi peradilan telah mengeluarkan ijin hal terkait. Pembuatan aturan khusus ini bisa dilakukan langsung oleh kepala negara (presiden) dalam bentuk Instruksi Presiden, atau bila ingin berkekuatan hukum tetap, dirumuskan oleh anggota parlemen (wakil rakyat).  Bagaimana dengan Indonesia? Pernah ada Rancangan Undang-undang yang menyertakan aturan khusus soal peliputan kabar persidangan bagi wartawan. Namun sayang rancangan tersebut tidak sukses, sebab beberapa kekuatan politik dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum seluruhnya sepakat atas 'equality before the law'. Harapan penulis, semoga paska pemilu 2014 beberapa anggota DPR bisa lebih peduli pada lembaga peradilan Indonesia.

***

Brebes
diunggah pada 19 Oktober 2013