Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 Juli 2013

How Tegal Lost Its Atmosphere...

photo by bokir



There is unecessary situation, The Art Public Festival did not support by local mass media. Unfortunately  the development of art in the city of Tegal increasingly headed in a bad condition.

At the past time, Tegal City have a good art atmosphere, some old public figure claimed that the town of Tegal use to be have high artistic spirit. Actually, it happened before 1966. It was the time  when artists organization strongly influences the social life of the people.

Historian Hilmar Farid said that, The true legacy of the New Order Regime: Poverty of Imagination, Political, Social, and Cultural.  (LBR ; Left Book Review site | Interview with Hilmar Farid July 2013)

It is too bad if the new order regime political influence still affecting the Tegal Arts Council. This is seen, when there is a simple problem in the Arts Council internal member, instead settling that simple issue get complicated due to complex behavior. As there are gods who influenced the Arts Council. If (that) gods did not bless then the arts council life so hard.

To change this situation need strengthening the bond of the member organization, took power of young artists, the latest rise in the spirit. If there is no change at all, the arts in the tegal city will lose its atmosphere.

Bustanul 'bokir' Arifin
Rasem Cafe ... July 24 2013


Selasa, 23 Juli 2013

ANGGOTA KPU JADI BANWAS PD BPR BKK

photo dari google


Brebes -  Salah satu Anggota KPU Brebes  berinisial AS dikabarkan undur diri, kemudian jadi Pejabat Banwas PD BPR BKK Brebes.  Tentu kabar ini jadi unik, sebab kabar beredar dari mulut ke mulut, bahkan publikasi media massa cetaj daerah maupun online-internetpun tidak terbaca di wilayah  produsen telur asin ini.

Di sisi lain, PD BPR BKK atau Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan, layaknya transparan kepada publik sebab kerja badan ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan pemerintah yang telah disertakan dalam bentuk saham. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Tengah Nomor 20 tahun 2002.

Dalam Perda itu dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten dibenarkan untuk memberi modal kepada PD BPR BKK minimal 2 milyar rupiah, sementara dalam Perda Kabupaten Brebes nomor 7 tahun 2011 jelas memutuskan penyertaan modal kepada PD BPR BKK Brebes sebesar: Rp 7.485.515.272,- (Tujuh milyar empat ratus delapan puluh lima juta lima ratus lima belas ribu dua ratus tujuh puluh dua rupiah). Dan Pemkab Brebes juga diberi kewenangan untuk menggunakan berikut mengawasi saham yang telah ditanamkan pada Perusahaan Daerah dimaksud.

***

Kembali pada kabar anggota KPU yang jadi pejabat Banwas (Badan Pengawas) PD BPR BKK Brebes. Bila ada pertanyaan apa 'vested interest' (kepentingan yang tertanam dengan kuat pada sekelompok orang untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan demi keuntungan kelompoknya) elite pemkab Brebes atas pemberian jabatan kepada anggota KPU?

Pertanyaan ini cukup repot untuk dijawab, apalagi bila mencari jawaban netral tanpa prespektif politik. Memang ada peraturan anggota KPU tidak boleh merangkap jabatan, namun manakala ada anggota undur diri sekadar menempati posisi jabatan strategis dalam perusahaan daerah, disini ada teka-teki.  Ada yang menduga peranan Pejabat Badan Pengawas selain pasang mata pada kinerja perusahaan juga beri persetujuan penggunaan saham untuk kepentingan 'elite' Pemerintah Kabupaten. Kalau 'elite' ini gunakan saham untuk pinjaman modal amat sangat lunak pada pengusaha telor asin misalnya, akan ada sentimen positif dari warga. Andaikan yang terjadi saham itu untuk pengusaha yang sudah berkelas besar, nah akan muncul kerepotan baru.

Bila pembaca tulisan ini masih penasaran pada sosok anggota KPU yang undur diri, monggo simak saja profil mereka dalam situs blog mereka. (Ini juga aneh KPU Brebes masih beri informasi pakai blog gratisan, padahal anggaran pembuatan situs internet mereka sudah cair)


Bustanul 'Bokir' Arifin
Hotspot di tepi sawah - Brebes, Juli 23 2013


Jumat, 19 Juli 2013

(sambungan) CALEG IKAN ASIN

 photo dari Google


Pernahkah seseorang bertanya tentang riwayat hidup sebuah ikan asin matang yang terhidang di meja makan?  Bila pertanyaan ini diajukan pada sebagian pengunjung warung makan, kemungkinan tidak akan dapat jawab atau penjelasan. Bila diajukan pada ibu-ibu yang belanja di pasar induk, kemungkinan juga sama hasilnya.


Penyantap Ikan Asin memang tidak butuh penjelasan akan riwayat bahan santapannya. Sebab rasa lapar sudah selimuti nalar dan daya analisa ketika awal proses makan. Yang menerbitkan rasa lapar pada Ikan Asin adalah semerbak aroma paduan minyak goreng panas dan kulit, tulang dan tubuh polos ikan kering. Aroma dari dapur yang dihantarkan angin sepoi sampai pada lobang hidung beberapa orang.


Aroma khas paduan minyak panas dan Ikan Asin ini, bila jadi analogi proses kerja tim sukses calon legislator, dapat berupa kabar di media massa maupun media sosial internet. Apapun nama pola kerja tim sukses, lebih populer dengan istilah 'pencitraan'. Tapi apa mampu aroma khas ikan asin melawan produk-produk makanan siap saji dari gerai waralaba di kota?


Dulu nama Ikan Asin pernah jadi satu komoditas yang masuk dalam kebutuhan pokok warga Indonesia, lembaga penyiaran Radio Republik Indonesia setiap pagi mengudarakan harga Ikan Asin di pasar. Uniknya waktu berlaju demikian cepat, kini harga daging sapi jadi idola media kalahkan Ikan Asin.


Konon Ikan Asin bila dikonsumsi tertib, dapat menambah kadar kalsium tubuh penyantap, namun sumber kalsium terpopuler justru ada pada keju atau susu sapi. Ini menunjukkan kalahnya sosok Ikan Asin dalam paparan ahli gizi yang datang ke sekolah-sekolah.  Lalu siapa yang tetap menjagokan Ikan Asin sebagai asupan penunjang kebutuhan kalsium tubuh? Warga miskin atau mereka yang tidak patuhi saran ahli gizi?

(bersambung)

Warung Rasem-Tegal, Juli 19 2013
Bustanul 'bokir' Arifin


Kamis, 18 Juli 2013

CALEG IKAN ASIN

 photo dari google


Satu tahun atau 365 hari lagi, pemerintah Indonesia akan selenggarakan Pemilihan Umum. Dan keterangan resmi dari Komisi Pemilihan Umum ada 12 Partai Politik siap ikuti prosesi demokrasi itu.  Dalam 'matematika politik' kurun waktu 365 hari bukan waktu ideal bagi partai politik untuk matangkan 'calon' anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tingkat pusat hingga daerah. Kondisi demikian membuat mesin politik partai terapkan resep pada calon legoslator serupa 'makanan siap saji' agar dapat raih kemenangan politik.

Tentu partai politik bermodal besar lebih lihai dalam sajikan 'makanan siap saji', lihat saja gerai waralaba cabang Amerika dan Jepang yang ada di berbagai kota. Dari tampilan gerai, tim tukang masak, pelayan sajian, sampai iklan di media massa. Bintang-bintang iklan dengan wajah lahap mengajak warga santap makanan sebanyak-banyaknya.

Justru tantangan ada dalam analisa calon legislator dari partai modal cekak, apakah nanti sekadar jajakan: kerupuk pedas, ikan asin, pisang gepeng rebus, atau aneka gorengan. Dan penulis lebih tertarik analisa pada calon legislator 'Ikan Asin'.

Waktu yang dibutuhkan seekor ikan segar di laut menjadi sosok 'ikan asin' lebih dari 48 jam, singkat kalimat, seekor ikan segar dibedah paksa untuk membuka diri. Isi perut ikan dibuang lalu daging dan tulang belulang disibak agar bisa dijilati panas terik matahari secara masive. Begitu kering semua organ dalam ikan masih ada ujian lagi yaitu dijajakan dalam wadah tidak sedap di pasar induk. Bila beruntung ikan asin itu akan dibeli seorang ibu, dan tidak berhenti sampai pembelian ini, harus dipaksa tenggelam dalam minyak goreng panas. Terlalu lama tenggelam dalam minyak panas akan gosong, jadi masih butuh kelihaian penggoreng ikan asin. Kemudian terhidanglah 'ikan asin' (dalam jumlah tidak banyak) siap saji di meja makan anggota keluarga.
Sial bagi caleg tipe ikan asin bila anggtoa keluarga lebih suka 'makanan siap saji' dari gerai waralaba cabang Amrik atau Jepang. Dan beruntung manakala semua anggota keluarga lagi lapar dan hasrat besar makan 'ikan asin'.

(bersambung)

Warung Rasem-Tegal, Juli 18 2013
Bustanul 'bokir' Arifin