Kamis, 18 Juli 2013
CALEG IKAN ASIN
Satu tahun atau 365 hari lagi, pemerintah Indonesia akan selenggarakan Pemilihan Umum. Dan keterangan resmi dari Komisi Pemilihan Umum ada 12 Partai Politik siap ikuti prosesi demokrasi itu. Dalam 'matematika politik' kurun waktu 365 hari bukan waktu ideal bagi partai politik untuk matangkan 'calon' anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tingkat pusat hingga daerah. Kondisi demikian membuat mesin politik partai terapkan resep pada calon legoslator serupa 'makanan siap saji' agar dapat raih kemenangan politik.
Tentu partai politik bermodal besar lebih lihai dalam sajikan 'makanan siap saji', lihat saja gerai waralaba cabang Amerika dan Jepang yang ada di berbagai kota. Dari tampilan gerai, tim tukang masak, pelayan sajian, sampai iklan di media massa. Bintang-bintang iklan dengan wajah lahap mengajak warga santap makanan sebanyak-banyaknya.
Justru tantangan ada dalam analisa calon legislator dari partai modal cekak, apakah nanti sekadar jajakan: kerupuk pedas, ikan asin, pisang gepeng rebus, atau aneka gorengan. Dan penulis lebih tertarik analisa pada calon legislator 'Ikan Asin'.
Waktu yang dibutuhkan seekor ikan segar di laut menjadi sosok 'ikan asin' lebih dari 48 jam, singkat kalimat, seekor ikan segar dibedah paksa untuk membuka diri. Isi perut ikan dibuang lalu daging dan tulang belulang disibak agar bisa dijilati panas terik matahari secara masive. Begitu kering semua organ dalam ikan masih ada ujian lagi yaitu dijajakan dalam wadah tidak sedap di pasar induk. Bila beruntung ikan asin itu akan dibeli seorang ibu, dan tidak berhenti sampai pembelian ini, harus dipaksa tenggelam dalam minyak goreng panas. Terlalu lama tenggelam dalam minyak panas akan gosong, jadi masih butuh kelihaian penggoreng ikan asin. Kemudian terhidanglah 'ikan asin' (dalam jumlah tidak banyak) siap saji di meja makan anggota keluarga.
Sial bagi caleg tipe ikan asin bila anggtoa keluarga lebih suka 'makanan siap saji' dari gerai waralaba cabang Amrik atau Jepang. Dan beruntung manakala semua anggota keluarga lagi lapar dan hasrat besar makan 'ikan asin'.
(bersambung)
Warung Rasem-Tegal, Juli 18 2013
Bustanul 'bokir' Arifin
Kamis, 13 Juni 2013
'Mindset' Pembunuh Masa Depan Anak Kandung
Ada kisah nyata begini...
Seorang anak laki-laki telah lulus sekolah tingkat atas, dengan landasan pendidikan 'skill' pada sekolah tekhnik menengah. Dan pihak sekolah sudah beri rekomendasi pada anak tersebut agar dapat kerja pada pabrik perusahaan ternama. Sayangnya 'mindset' orang tua anak ini telah membuat masa depan gerak di tempat.
Orang tua anak ini, punya jaringan kenalan orang-orang berpengaruh di daerah tempat tinggalnya. Ada keinginan orang tua si anak jadi pegawai negeri dengan gaji bulanan lumayan. Padahal sebagian besar kenalan si Bapak setuju kalau si anak segera jadi buruh perusahaan ternama. Makin didukung malah makin mutung, si Bapak lebih suka anak jadi pegawai negeri. Lewat satu kenalan orang berpangkat, singkat kalimat si anak (sementara) jadi pengabdi pada satu departemen, dia menjadi penjaga palang pintu perlintasan kereta api di dalam kota tempat tinggal kolega si Bapak. Sudah 5 tahun si anak tekun jaga pintu, penghasilan masih jauh dari pegawai negeri.
Tidak ada yang patut disalahkan atas laku hidup anak tersebut, siapapun yang terlibat dalam kisah ini sudah berusaha sebaik mungkin penuhi kemauan orang tuanya.
***
'Mindset' atau landasan pikir orang tua di tanah ini, anak harus lebih sukses dari laku hidup orang tua. Betapapun kalau tekun menyimak fakta, lebih banyak anak-anak yang hidup menyimpang dari hasil upaya keras orang tua. Hidup dalam suasana 'berlomba-lomba' unjuk 'skill' agar dapat stempel 'sukses', malah lebih banyak usaha 'colak-colek' jaringan demi masa depan keturunan. Manakala si anak melawan orang tua, usah khawatir akan banyak tokoh agama siap bantu patok status 'durhaka' pada si anak.
Belum lagi kalau ada kawan berjuang keras memberdayakan anak Yatim Piatu, para orang tua dengan 'mindset' serupa kisah nyata pada awalan tulisan ini, akan merasa tambah repot kalau diminta bagi perhatian pada para pejuang nasib anak Yatim Piatu.
Apakah ada orang tua sempat membaca metode didik Montessori? Googling atau tanya akun-akun pendidik di Jejaring Sosial. Apa ada kewajiban anak harus sekolah formal hingga SMA? Atau pilih latih skill mereka?
(tulisan ini disambung kalau sempat)
Brebes, 13 Juni 2013
Bustanul Bokir Arifin
belakang Pasarinduk Brebes
Selasa, 30 April 2013
Biji Pohon
Seberapa banyak biji pohon siap tanam pada kantung yang dibawa kemana saja
Menurut Gerry van Klinken (Peneliti senior dari lembaga KITLV Belanda), masyarakat Jawa telah mempunyai pegetahuan yang memadai dalam bidang pertanian bahkan sebelum kolonialisme datang ke nusantara.
** Saat kolonialisme mulai mencengkeram pulau Jawa maka keadaan menjadi 180 derajat, pertengahan Abad IX menjadi malapetaka besar bagi pepohonan berkayu keras di Jawa. Hampir semua pohon dikorbankan untuk ambisi kerajaan kolonial, diantaranya digunakan untuk membuat kapal-kapal perang ukuran besar yang nantinya hanya ditenggelamkan di lautan lepas karena perang
** Selanjutnya terjadi banjir besar yang menyebabkan lapisan tanah subur Jawa terkelupas habis, mulai saat itu petani kesulitan memperoleh panen yang bagus hingga lumbung kosong dan mulai merasakan bencana kelaparan.
**Jarang diantara masyarakat Jawa yang memberi penerangan tentang kesuburan tanah hilang akibat penebangan pohon berkayu keras untuk tujuan perang.
Ratusan tahun masih saja tidak ada perubahan.... bahkan tanah Jawa kini diracuni berbagai jenis cairan kimia yang tak bisa musnah mengakar dalam waktu lama.
- Bila ada yang berteriak-teriak perjuangkan penghijauan Jawa, bolehkah aku bertanya seberapa banyak biji pohon siap tanam pada kantungnya. Masyarakat Jawa sebelum kolonialisme masuk ke nusantara kemana dia pergi selalu membawa biji siap tanam, sebab setiap pohon yang tumbuh dari biji itu menjadi prasasti hidup petualangannya yang akan diikuti oleh anak-cucunya
Bustanul Bokir Arifin
ditulis sejak Juli 2011, diupload ulang 30/42013
Sabtu, 27 April 2013
Gerakan Keruk Uang di Kabupaten Brebes
Apakah 'gerakan' sebuah kelompok khusus atau populer disebut 'pergerakan' itu? Paparan arti gerakan secara sederhana bisa melihat tapak waktu atau sejarah sebuah wilayah negara. Meski negara bersifat abstrak, namun gerakan dan pergerakan kelompok tertentu nan syarat kepentingan bersifat nyata. Diawali pada pergerakan penyadaran bernegara, melalui proklamasi kemerdekaan, singkat tulisan muncul simpangan arah dari kesadaran bernegara menjadi 'Gerakan Keruk Uang' rakyat.
Demikian juga pada tapak waktu Kabupaten Brebes, dimana sejak jaman Soekarno hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Paska proklamasi wilayah penghasil bawang merah ini dipimpin Bupati kompromis dengan suasana jaman, bahkan sejak Rezim Soeharto corak pemerintahan Brebes tidak pernah benar-benar fokus pada tujuan utama: kesejahteraan rakyat. Bahkan hingga saat ini, padahal sudah ada Bupati yang kena kasus korupsi, tetap saja indikasi pemerintahan penuh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tampak jelas.
***
Akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 4 November, Kabupaten Brebes pertama kali memiliki pemimpin perempuan dalam riwayat hidupnya. Pada sisi ini jadi prestasi sendiri bagi kekuatan politik pendukung kemenangan Hajjah Idza Priyanti (Idza) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sayangnya kekuatan politik pendukung Idza tidak tekun mengawal jalan pemerintahan, alih-alih pemerintahan jadi tertib, malah muncul indikasi 'gerakan keruk uang' oleh kelompok elite yang dekat dengan Bupati.
Tentu saja dalam setiap 'gerakan' ada unsur 'aktifis'-nya, lalu bagaimana laku aktifis pengeruk uang rakyat atau anggaran pemerintahan kabupaten ini? Aktifis keruk uang ini memang memiliki sifat 'hipokrit' (cari untung), ketika proses Pilkada belum usai, aktifis ini cukup menunggu di tikungan jalan, dan siapapun pemenang proses pemilihan itu akan mereka dekati dengan ketat, bagaikan bek sepak bola terbaik kawal striker handal.
Tentu saja jaringan aktifis ini cukup mengakar di segala lini, baik pada lini eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan dalam lini wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (bila dianggap sebagai pilar ke 4 demokrasi). Semboyan aktifis keruk uang ini semula 'Bagi-Rata' hasil, namun pelan tapi pasti berubah wujud menuju sebuah 'kerajaan kecil' berisi kerabat dan orang dekat semata.
***
Bila pembaca menunggu sajian bukti atas wujud gerakan aktifis keruk duit rakyat ini, bisa menengok pada sebuah perusahaan milik pemerintah daerah, lihat saja kondisi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Brebes.
PDAM saat ini dibawah pimpinan direktur seorang perempuan berinisial KW. Ada keterangan KW adalah 'boneka' dari anggota Badan Pengawas (Banwas) perusahaan itu. Selain perusahaan dipimpin 'boneka', keponakan anggota Banwas direncanakan akan mengisi jabatan KW sebelumnya dalam meja Pengelola Keuangan Perusahaan.
Semula sempat keras reaksi media massa yang peduli pada Brebes atas kondisi struktural perusahaan penyedia air bersih untuk warga ini, namun reaksi itu padam seketika setelah ada kesepakatan tidak resmi antara Banwas dan beberapa wartawan. Bagaimana dengan reaksi LSM, tidak usah ditanya, salah satu anggota Banwas juga dekat dengan pentolan-pentolan LSM, hingga daya kritis lembaga itu mudah padam.
Sempat ada protes dari anggota legislatif/DPRD Brebes, atas carut marut kondisi PDAM. Protes dilandaskan pada peraturan legal, dimana anggota Banwas maupun direktur lama semustinya purna tugas pada tahun 2014, kenyataannya ketika ada rapat pleno yang khusus membahas PDAM, anggota DPRD tak bisa unjuk gigi.
***
Dan bagaimana kelanjutan dari gerakan keruk uang rakyat di Brebes ini? Semoga ada waktu dan kesempatan untuk tulis sambungan kabar ini.
Brebes, April 28 2013
Bustanul 'bokir' Arifin
Selasa, 19 Maret 2013
Kabar dari Desa Karni
Medi ayah karni (duduk plg kanan) sedang menunggu upah 'Bawon' (mburuh tani)
Panen padi telah tiba, sejak Selasa (19/3) pagi Medi Tarsim (58) sudah bergegas ke sawah sebelah utara desa Karangjunti. Dia bersama kawan sebayanya berangkat jadi buruh tani alias 'bawon' istilah setempat.
Seharian Medi yang sudah punya cicit itu ayunkan sabit ke batang padi, merontokkan bulir, dan menjemur gabah di pinggir irigasi utama desa. Dia tidak tahu kalau sejak Senin (18/3) kemarin media massa Saudi Gazzete merilis kabar kalau Karni (36) anak bungsunya telah divonis mati dalam tahapan persidangan kasus pembunuhan di wilayah distrik Yanbu Madinah.
Pukul 16.20, Medi ditemui penulis, awal pertemuan nan serba kikuk komunikasi. Sebab warga desa di perbatasan Jabar-Jateng (Jawa Barat -Jawa Tengah) ini biasa menggunakan bahasa sunda, sementara penulis hanya paham sedikit bahasa tersebut.
Sedikit jengkel Medi menyarankan penulis untuk menemui anak sulungnya saja si Rasti, "Sebab kamu tak lancar bahasa sunda, dan saya juga tidak lancar berbahasa Indonesia," alasan Medi.
Selang beberapa menit kemudian datanglah Rasti dan anak kandungnya, awal pembicaraan diwakilkan anak sulung Rastri sambil menyusui bayinya. "Kami masih menunggu kabar tante saya, dari utusan Kepala Desa kami yakni ibu Odoh. Sudah lama tidak ada kabar semenjak bu Kades mengirim utusan dua pria yang mengaku berasal dari Jakarta," ujar Anak Rasti. Selang bicara usai Rasti menimpali, "Kami sekeluarga pernah dapat kabar kalau Karni akan pulang di bulan 3 tahun ini." demikian kata Rasti.
Entah darimana sumber kabar pernyataan Karni akan pulang di bulan Maret tahun 2013, manakala kabar dari Madinah justru menyatakan pekerja asal Brebes ini divonis mati pada tahapan sidang yang belum tuntas.
Penulis mencoba meminta keluarga Medi agar tunjukkan surat-surat dari pemerintah, sebagai bukti atas bantuan hukum ataupun komunikasi dengan mereka. Namun jawaban dari Rasti, " Surat-surat yang ada kaitannya dengan Karni sudah dibawa 2 laki-laki utusan ibu Kades ke Jakarta."
Memang akhir tahun kemarin adalah waktu dimulainya rasa debar panjang, semua kerabat sampai saat ini masih menunggu kejelasan nasib Karni. Yang diingat dari Rasti dan Ibunya adalah ucapan Menaker Muhaimin Iskandar saat temui mereka beberapa waktu yang lalu. "Bapak menteri pernah bilang Karni akan kembali ke rumah," tutur Rasti berkaca-kaca.
Rasti masih ingat betul pembicaraan terakhir dengan Karni, "Waktu itu hari Kamis tanggal 27 bulan 9 (September 2012), Karni menelon aku, dia berbicara singkat tak seperti biasanya :
Karni : Malem jumat, teh saya mau disidang,
Rasti : kenapa?
Karni: Nggak Tahu, sidangnya hari Jumat entar pagi,
Rasti : Kenapa Ni?
Kemudian telepon mati, pembicaraan terhenti," papar Rasti
Keluarga Medi tetap yakin bahwa Karni kena musibah, dan akan pulang tahun ini.
***
Penulis tak sanggup lanjutkan pembicaraan dengan keluarga itu, sejak awal pembicaraan Medi lebih memilih menuntaskan pekerjaan buruh taninya. Sementara minuman teh tubruk yang dibuatkan ibunda Karni pun tak sanggup kutuntaskan. Maafkan penulis, tidak tega kabarkan vonis pengadilan di sana.
Karni mungkin sempat bermimpi kalau di desanya sudah musim panen padi, dimana banyak anak-anak bermain layang-layang di pematang sawah. Bangun dari tidur Karnipun memandang jeruji besi.
Bustanul 'bokir' Arifin
Karangjunti-Losari-Brebes
19 Maret 2013
Selasa, 12 Maret 2013
Bawang Merah Tak Pernah Ingkar Janji
Pagi hari pukul 05.30 waktu berlaku, ratusan karung transparan merah mulai berdatangan di lapak bawang merah pasar induk Brebes. Ipung (30) perempuan pedagang yang sudah 9 tahun lebih kelola komoditas andalan kabupaten telor asin ini pada Rabu (13/3) belanjakan uang sekitar 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) untuk 50 kwintal umbi merah pedas itu.
Sebagian barang yang dibeli Ipung dikirim ke pabrik pengelola makanan instan, sebagian lagi dikirim ke Lapak desa Pelutan wilayah Pemalang. "Pesanan partai besar datang dari pabrik, partai kecil jual eceran dikirimkan ke Pemalang," kata Ipung.
Patokan harga yang ada untuk partai besar masih dalam kisaran 35.000-38.000 perkilo, sementara untuk partai kecil 37.000-40.000 perkilo. Jadi sentra harga eceran bawang merah justru ada di Pemalang. Sementara untuk harga 'BS' alias bawang busuk ada yang menampung dalam kisaran 19.000-20.000 perkilo. Bawang busuk ini disalurkan kepada pengusaha pengolah besi kuningan di wilayah luar kota Brebes.
Pukul 09.00 Ipung sudah kembali ke rumah, setelah semua kiriman diserah terima oleh ekspedisi angkutan kepercayaannya. Usai mandi dia berdandan sambil melihat acara berita di televisi, mendengar kabar harga bawang yang lagi nanjak, dia tidak kaget atau sampai merusak riasan wajahnya. "Kabar di televisi sebentar lagi juga berubah, apalagi sudah ada informasi kalau juragan besar di Wanasari sudah terima bawang impor," komentarnya datar.
Sebaran informasi antar pedagang bawang dan jasa ekspedisi sudah pake rel seluler, artinya 'update' kabar dilakukan jam per jam. Kabar atas gelontoran bawang impor pada gudang besar milik beberapa juragan besar, sampai kabar siap panennya lahan yang ada di Weleri maupun Sukomoro Jatim. Dan biasanya kabar itu layak dipercaya, atau populer kata antar pedagang ; Bawang Merah tak Pernah Ingkar Janji.
Prediksi pedagang atas harga tidak bersandar pada kisaran angka berdasarkan teori ekonomi kampus. Pedagang memprediksi atas ketersediaan barang pada di lapak besar pada dini hari. Namun kabar kesiapan panen pada lahan-lahan tertentu bisa jadi patokan akan turunnya kembali harga si Merah yang Gurih ini.
Rabu, 13 Maret 2013
Bustanul 'Bokir' Arifin
Senin, 11 Maret 2013
Gurihnya Harga Bawang Merah
Harga Bawang Merah di Pasarinduk Brebes, saat ini tulisan diketik (Selasa, 12/3), dalam kisaran Rp 32.000 (tiga puluh dua ribu rupiah) per kilogram untuk kuwalitas bagus dan bibit tanam - dan Rp 26.000 (dua puluh enam ribu rupiah) per kilogram untuk kuwalitas eceran di pasar.
Kisaran harga bawang merah dalam Pasarinduk Brebes ini dianggap sangat murah bila dibandingkan patokan harga di beberapa kota besar Indonesia. Informasi yang beredar menyatakan utk Jakarta Rp 44.000/kg, Medan, Jogjakarta Denpasar Rp 40.000/kg, Watampone Rp 45.000/kg, Nabire Rp 55.000/kg, Lampung Rp 50.000/kg.
Macam mana harga di pasar beberapa kota bisa berjenjang banyak dengan pasar Brebes? Sudah diduga ini permainan tengkulak dan juragan penimbum bawang dalam gudang besar mereka. Atau dugaan lain menunjukkan media massa sedang berupaya melayani jalur Impor bawang agar terbuka demi penurunan harga. Semoga dugaan ini keliru, dan penulis masih berharap medua massa lebih berpihak pada nasib petani.
Bila harga naik atau turun, pengaruhi kehidupan riil petani? Ah, penulis belum percaya itu. Sebab saat ini petani masih dicekik kredit dan hutang atas biaya perawatan dan paska panen untuk Bawang Merah. Juragan Besar dan tengkulak malah nyata merasakan gurihnya harga bawang merah, dalam patokan angka yang masih diatur mereka.
Brebes, 12 Maret 2013
Langganan:
Postingan (Atom)