Total Tayangan Halaman

Jumat, 19 Juli 2013

(sambungan) CALEG IKAN ASIN

 photo dari Google


Pernahkah seseorang bertanya tentang riwayat hidup sebuah ikan asin matang yang terhidang di meja makan?  Bila pertanyaan ini diajukan pada sebagian pengunjung warung makan, kemungkinan tidak akan dapat jawab atau penjelasan. Bila diajukan pada ibu-ibu yang belanja di pasar induk, kemungkinan juga sama hasilnya.


Penyantap Ikan Asin memang tidak butuh penjelasan akan riwayat bahan santapannya. Sebab rasa lapar sudah selimuti nalar dan daya analisa ketika awal proses makan. Yang menerbitkan rasa lapar pada Ikan Asin adalah semerbak aroma paduan minyak goreng panas dan kulit, tulang dan tubuh polos ikan kering. Aroma dari dapur yang dihantarkan angin sepoi sampai pada lobang hidung beberapa orang.


Aroma khas paduan minyak panas dan Ikan Asin ini, bila jadi analogi proses kerja tim sukses calon legislator, dapat berupa kabar di media massa maupun media sosial internet. Apapun nama pola kerja tim sukses, lebih populer dengan istilah 'pencitraan'. Tapi apa mampu aroma khas ikan asin melawan produk-produk makanan siap saji dari gerai waralaba di kota?


Dulu nama Ikan Asin pernah jadi satu komoditas yang masuk dalam kebutuhan pokok warga Indonesia, lembaga penyiaran Radio Republik Indonesia setiap pagi mengudarakan harga Ikan Asin di pasar. Uniknya waktu berlaju demikian cepat, kini harga daging sapi jadi idola media kalahkan Ikan Asin.


Konon Ikan Asin bila dikonsumsi tertib, dapat menambah kadar kalsium tubuh penyantap, namun sumber kalsium terpopuler justru ada pada keju atau susu sapi. Ini menunjukkan kalahnya sosok Ikan Asin dalam paparan ahli gizi yang datang ke sekolah-sekolah.  Lalu siapa yang tetap menjagokan Ikan Asin sebagai asupan penunjang kebutuhan kalsium tubuh? Warga miskin atau mereka yang tidak patuhi saran ahli gizi?

(bersambung)

Warung Rasem-Tegal, Juli 19 2013
Bustanul 'bokir' Arifin


Tidak ada komentar: