Sabtu, 27 April 2013
Gerakan Keruk Uang di Kabupaten Brebes
Apakah 'gerakan' sebuah kelompok khusus atau populer disebut 'pergerakan' itu? Paparan arti gerakan secara sederhana bisa melihat tapak waktu atau sejarah sebuah wilayah negara. Meski negara bersifat abstrak, namun gerakan dan pergerakan kelompok tertentu nan syarat kepentingan bersifat nyata. Diawali pada pergerakan penyadaran bernegara, melalui proklamasi kemerdekaan, singkat tulisan muncul simpangan arah dari kesadaran bernegara menjadi 'Gerakan Keruk Uang' rakyat.
Demikian juga pada tapak waktu Kabupaten Brebes, dimana sejak jaman Soekarno hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Paska proklamasi wilayah penghasil bawang merah ini dipimpin Bupati kompromis dengan suasana jaman, bahkan sejak Rezim Soeharto corak pemerintahan Brebes tidak pernah benar-benar fokus pada tujuan utama: kesejahteraan rakyat. Bahkan hingga saat ini, padahal sudah ada Bupati yang kena kasus korupsi, tetap saja indikasi pemerintahan penuh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tampak jelas.
***
Akhir tahun 2012, tepatnya tanggal 4 November, Kabupaten Brebes pertama kali memiliki pemimpin perempuan dalam riwayat hidupnya. Pada sisi ini jadi prestasi sendiri bagi kekuatan politik pendukung kemenangan Hajjah Idza Priyanti (Idza) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sayangnya kekuatan politik pendukung Idza tidak tekun mengawal jalan pemerintahan, alih-alih pemerintahan jadi tertib, malah muncul indikasi 'gerakan keruk uang' oleh kelompok elite yang dekat dengan Bupati.
Tentu saja dalam setiap 'gerakan' ada unsur 'aktifis'-nya, lalu bagaimana laku aktifis pengeruk uang rakyat atau anggaran pemerintahan kabupaten ini? Aktifis keruk uang ini memang memiliki sifat 'hipokrit' (cari untung), ketika proses Pilkada belum usai, aktifis ini cukup menunggu di tikungan jalan, dan siapapun pemenang proses pemilihan itu akan mereka dekati dengan ketat, bagaikan bek sepak bola terbaik kawal striker handal.
Tentu saja jaringan aktifis ini cukup mengakar di segala lini, baik pada lini eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan dalam lini wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (bila dianggap sebagai pilar ke 4 demokrasi). Semboyan aktifis keruk uang ini semula 'Bagi-Rata' hasil, namun pelan tapi pasti berubah wujud menuju sebuah 'kerajaan kecil' berisi kerabat dan orang dekat semata.
***
Bila pembaca menunggu sajian bukti atas wujud gerakan aktifis keruk duit rakyat ini, bisa menengok pada sebuah perusahaan milik pemerintah daerah, lihat saja kondisi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Brebes.
PDAM saat ini dibawah pimpinan direktur seorang perempuan berinisial KW. Ada keterangan KW adalah 'boneka' dari anggota Badan Pengawas (Banwas) perusahaan itu. Selain perusahaan dipimpin 'boneka', keponakan anggota Banwas direncanakan akan mengisi jabatan KW sebelumnya dalam meja Pengelola Keuangan Perusahaan.
Semula sempat keras reaksi media massa yang peduli pada Brebes atas kondisi struktural perusahaan penyedia air bersih untuk warga ini, namun reaksi itu padam seketika setelah ada kesepakatan tidak resmi antara Banwas dan beberapa wartawan. Bagaimana dengan reaksi LSM, tidak usah ditanya, salah satu anggota Banwas juga dekat dengan pentolan-pentolan LSM, hingga daya kritis lembaga itu mudah padam.
Sempat ada protes dari anggota legislatif/DPRD Brebes, atas carut marut kondisi PDAM. Protes dilandaskan pada peraturan legal, dimana anggota Banwas maupun direktur lama semustinya purna tugas pada tahun 2014, kenyataannya ketika ada rapat pleno yang khusus membahas PDAM, anggota DPRD tak bisa unjuk gigi.
***
Dan bagaimana kelanjutan dari gerakan keruk uang rakyat di Brebes ini? Semoga ada waktu dan kesempatan untuk tulis sambungan kabar ini.
Brebes, April 28 2013
Bustanul 'bokir' Arifin
Selasa, 19 Maret 2013
Kabar dari Desa Karni
Medi ayah karni (duduk plg kanan) sedang menunggu upah 'Bawon' (mburuh tani)
Panen padi telah tiba, sejak Selasa (19/3) pagi Medi Tarsim (58) sudah bergegas ke sawah sebelah utara desa Karangjunti. Dia bersama kawan sebayanya berangkat jadi buruh tani alias 'bawon' istilah setempat.
Seharian Medi yang sudah punya cicit itu ayunkan sabit ke batang padi, merontokkan bulir, dan menjemur gabah di pinggir irigasi utama desa. Dia tidak tahu kalau sejak Senin (18/3) kemarin media massa Saudi Gazzete merilis kabar kalau Karni (36) anak bungsunya telah divonis mati dalam tahapan persidangan kasus pembunuhan di wilayah distrik Yanbu Madinah.
Pukul 16.20, Medi ditemui penulis, awal pertemuan nan serba kikuk komunikasi. Sebab warga desa di perbatasan Jabar-Jateng (Jawa Barat -Jawa Tengah) ini biasa menggunakan bahasa sunda, sementara penulis hanya paham sedikit bahasa tersebut.
Sedikit jengkel Medi menyarankan penulis untuk menemui anak sulungnya saja si Rasti, "Sebab kamu tak lancar bahasa sunda, dan saya juga tidak lancar berbahasa Indonesia," alasan Medi.
Selang beberapa menit kemudian datanglah Rasti dan anak kandungnya, awal pembicaraan diwakilkan anak sulung Rastri sambil menyusui bayinya. "Kami masih menunggu kabar tante saya, dari utusan Kepala Desa kami yakni ibu Odoh. Sudah lama tidak ada kabar semenjak bu Kades mengirim utusan dua pria yang mengaku berasal dari Jakarta," ujar Anak Rasti. Selang bicara usai Rasti menimpali, "Kami sekeluarga pernah dapat kabar kalau Karni akan pulang di bulan 3 tahun ini." demikian kata Rasti.
Entah darimana sumber kabar pernyataan Karni akan pulang di bulan Maret tahun 2013, manakala kabar dari Madinah justru menyatakan pekerja asal Brebes ini divonis mati pada tahapan sidang yang belum tuntas.
Penulis mencoba meminta keluarga Medi agar tunjukkan surat-surat dari pemerintah, sebagai bukti atas bantuan hukum ataupun komunikasi dengan mereka. Namun jawaban dari Rasti, " Surat-surat yang ada kaitannya dengan Karni sudah dibawa 2 laki-laki utusan ibu Kades ke Jakarta."
Memang akhir tahun kemarin adalah waktu dimulainya rasa debar panjang, semua kerabat sampai saat ini masih menunggu kejelasan nasib Karni. Yang diingat dari Rasti dan Ibunya adalah ucapan Menaker Muhaimin Iskandar saat temui mereka beberapa waktu yang lalu. "Bapak menteri pernah bilang Karni akan kembali ke rumah," tutur Rasti berkaca-kaca.
Rasti masih ingat betul pembicaraan terakhir dengan Karni, "Waktu itu hari Kamis tanggal 27 bulan 9 (September 2012), Karni menelon aku, dia berbicara singkat tak seperti biasanya :
Karni : Malem jumat, teh saya mau disidang,
Rasti : kenapa?
Karni: Nggak Tahu, sidangnya hari Jumat entar pagi,
Rasti : Kenapa Ni?
Kemudian telepon mati, pembicaraan terhenti," papar Rasti
Keluarga Medi tetap yakin bahwa Karni kena musibah, dan akan pulang tahun ini.
***
Penulis tak sanggup lanjutkan pembicaraan dengan keluarga itu, sejak awal pembicaraan Medi lebih memilih menuntaskan pekerjaan buruh taninya. Sementara minuman teh tubruk yang dibuatkan ibunda Karni pun tak sanggup kutuntaskan. Maafkan penulis, tidak tega kabarkan vonis pengadilan di sana.
Karni mungkin sempat bermimpi kalau di desanya sudah musim panen padi, dimana banyak anak-anak bermain layang-layang di pematang sawah. Bangun dari tidur Karnipun memandang jeruji besi.
Bustanul 'bokir' Arifin
Karangjunti-Losari-Brebes
19 Maret 2013
Selasa, 12 Maret 2013
Bawang Merah Tak Pernah Ingkar Janji
Pagi hari pukul 05.30 waktu berlaku, ratusan karung transparan merah mulai berdatangan di lapak bawang merah pasar induk Brebes. Ipung (30) perempuan pedagang yang sudah 9 tahun lebih kelola komoditas andalan kabupaten telor asin ini pada Rabu (13/3) belanjakan uang sekitar 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) untuk 50 kwintal umbi merah pedas itu.
Sebagian barang yang dibeli Ipung dikirim ke pabrik pengelola makanan instan, sebagian lagi dikirim ke Lapak desa Pelutan wilayah Pemalang. "Pesanan partai besar datang dari pabrik, partai kecil jual eceran dikirimkan ke Pemalang," kata Ipung.
Patokan harga yang ada untuk partai besar masih dalam kisaran 35.000-38.000 perkilo, sementara untuk partai kecil 37.000-40.000 perkilo. Jadi sentra harga eceran bawang merah justru ada di Pemalang. Sementara untuk harga 'BS' alias bawang busuk ada yang menampung dalam kisaran 19.000-20.000 perkilo. Bawang busuk ini disalurkan kepada pengusaha pengolah besi kuningan di wilayah luar kota Brebes.
Pukul 09.00 Ipung sudah kembali ke rumah, setelah semua kiriman diserah terima oleh ekspedisi angkutan kepercayaannya. Usai mandi dia berdandan sambil melihat acara berita di televisi, mendengar kabar harga bawang yang lagi nanjak, dia tidak kaget atau sampai merusak riasan wajahnya. "Kabar di televisi sebentar lagi juga berubah, apalagi sudah ada informasi kalau juragan besar di Wanasari sudah terima bawang impor," komentarnya datar.
Sebaran informasi antar pedagang bawang dan jasa ekspedisi sudah pake rel seluler, artinya 'update' kabar dilakukan jam per jam. Kabar atas gelontoran bawang impor pada gudang besar milik beberapa juragan besar, sampai kabar siap panennya lahan yang ada di Weleri maupun Sukomoro Jatim. Dan biasanya kabar itu layak dipercaya, atau populer kata antar pedagang ; Bawang Merah tak Pernah Ingkar Janji.
Prediksi pedagang atas harga tidak bersandar pada kisaran angka berdasarkan teori ekonomi kampus. Pedagang memprediksi atas ketersediaan barang pada di lapak besar pada dini hari. Namun kabar kesiapan panen pada lahan-lahan tertentu bisa jadi patokan akan turunnya kembali harga si Merah yang Gurih ini.
Rabu, 13 Maret 2013
Bustanul 'Bokir' Arifin
Senin, 11 Maret 2013
Gurihnya Harga Bawang Merah
Harga Bawang Merah di Pasarinduk Brebes, saat ini tulisan diketik (Selasa, 12/3), dalam kisaran Rp 32.000 (tiga puluh dua ribu rupiah) per kilogram untuk kuwalitas bagus dan bibit tanam - dan Rp 26.000 (dua puluh enam ribu rupiah) per kilogram untuk kuwalitas eceran di pasar.
Kisaran harga bawang merah dalam Pasarinduk Brebes ini dianggap sangat murah bila dibandingkan patokan harga di beberapa kota besar Indonesia. Informasi yang beredar menyatakan utk Jakarta Rp 44.000/kg, Medan, Jogjakarta Denpasar Rp 40.000/kg, Watampone Rp 45.000/kg, Nabire Rp 55.000/kg, Lampung Rp 50.000/kg.
Macam mana harga di pasar beberapa kota bisa berjenjang banyak dengan pasar Brebes? Sudah diduga ini permainan tengkulak dan juragan penimbum bawang dalam gudang besar mereka. Atau dugaan lain menunjukkan media massa sedang berupaya melayani jalur Impor bawang agar terbuka demi penurunan harga. Semoga dugaan ini keliru, dan penulis masih berharap medua massa lebih berpihak pada nasib petani.
Bila harga naik atau turun, pengaruhi kehidupan riil petani? Ah, penulis belum percaya itu. Sebab saat ini petani masih dicekik kredit dan hutang atas biaya perawatan dan paska panen untuk Bawang Merah. Juragan Besar dan tengkulak malah nyata merasakan gurihnya harga bawang merah, dalam patokan angka yang masih diatur mereka.
Brebes, 12 Maret 2013
Kamis, 21 Februari 2013
JAJAHAN
Untuk kawan Greg Saralaugh
Semula dengan kawan Greg Saralaugh saling kicau atas istilah Kolonial Belanda dan Hindia Belanda, kemudian ada pertanyaan : konsep 'jajahan' (menurut persepsiku) itu apa?
Berikut jawabannya :
Jajahan, kata 'jajah' berakhiran 'an' membuat makna sifat menjadi makna obyek. Jajahan bisa diartikan obyek manakala kemerdekaan asasinya direnggut semena-mena.
Apa saja kemerdekaan yang direnggut dari obyek jajahan?
Ciri khas jajahan dari jaman ke jaman antara lain :
Bisa dibunuh sewaktu-waktu tanpa perlu peradilan
Semua hak miliknya (dari hidup hingga kepemilikan hak intelektual) tidak dapat dikembangkan secara alami, atau pertumbuhan sifat alami jajahan dimatikan semata-mata.
Apapun upaya jajahan untuk mencari eksistensi, keadilan hingga merdeka dihalangi secara sistematik. Bahkan semua hak cipta jajahan akan sirna dan tidak diakui warga dunia.
Dan masih banyak lagi bukti-bukti tidak adanya merdeka pada obyek 'jajahan' ini
***
Lalu mengapa pada pembacaan arsip sejarah penulis lebih sepakat pada istilah 'Kolonial Belanda' daripada Hindia Belanda?
Hal ini berawal dari banyaknya arsip yang menunjukkan beberapa istilah : Kolonial Inggris, Kolonial Perancis, Kolonial Belanda, Kolonial Rusia dsb. Kolonial ini punya sistem dan sebenarnya dijalankan pada wilayah koloni jajahan oleh beberapa pemikiran yang disepakati oleh pemerintah penjajah.
Sementara ada juga Hindia Belanda, Hindia Portugis, Hindia England. Epistimologi kata 'Hindia' lebih menunjuk kepada letak geografi sebuah wilayah dekat benua India pada jaman ekspansi beberapa Kerajaan Eropa ke arah Timur lewat laut.
***
Sekian dulu jawaban soal Jajahan untuk kawan Greg Saralaugh
Bustanul Bokir Arifin
Brebes, 21 Februari 2013
Rabu, 13 Februari 2013
Darimana Anggaran Panitia Khusus Pemekaran Brebes?
Belum genap 100 hari pemerintahan Kabupaten Brebes dalam kendali Bupati dan Wakil Bupati baru, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Brebes ngotot membuat Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran Kabupaten.
Pihak anggota dewan bersikeras nyatakan bahwa usul pemekaran merupakan inisiatif rakyat (yang mana?), uniknya sebagian anggota Pansus pernah menjadi anggota Tim Sukses Pilkada untuk pasangan calon yang kalah. Pansus sendiri masih menunggu kelengkapan administrasi, hingga tulisan ini dibuat. Salah satu persyaratan antara lain menunggu keputusan Forum Kepala Desa bagian Selatan Kabupaten Brebes. Lalu darimana anggaran Pansus berasal? Dari Kas Daerah Kabupaten Brebes, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Brebes atau dari Dana Alokasi Khusus (DAK)?
Semisal kerja Pansus kemudian memakai APBD alangkah lucu kelakuan sebagian politikus anggota DPRD itu, sebab Gubernur Jawa Tengah pada acara Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Brebes sudah menyatakan tidak ada pemekaran untuk Brebes, namun politikus-politikus itu tetap cari cara bagaimana dapat anggaran yang asalnya dari duit rakyat. Alih-alih mereka berpikir tiga atau lima kali atas resiko pemekaran, tampak mereka lebih suka 'mbobok-celengan' alias ambil anggaran daerah untuk kerja yang tidak jelas.
Bagaimana hal ini bisa berlangsung lancar tanpa ada perlawanan dari warga Brebes yang tidak sepakat dengan pemekaran? Tampaknya sisa-sisa pertarungan politik Pilkada masih membekas dalam benak warga yang sadar politik, sedangkan sisi lain warga tampak acuh tak acuh pada ulah politikus. Semoga masih ada oraginsasi masyarakat yang masih peduli dengan keutuhan Kabupaten Brebes, hingga mau melawan upaya pemekaran tersebut.
Bila upaya pemekaran ini masih tetap dilakukan, dan masih menggunakan anggaran daerah Brebes, mungkin akan muncul dugaan, anggaran itu akan jadi penambah kekayaan elite politikus di daerah yang bekerja tidak atas dasar memuliakan keutuhan Kabupaten Brebes.
13 Februari 2013
Bustanul 'bokir' Arifin
Kamis, 10 Januari 2013
Telor Asin Warisan Gerilyawan
Waktu itu, Brebes belum dikenal sebagai pusat produksi Telor Asin, sebab kemerdekaan Indonesia masih muda. Tersebut nama Moehadi seorang gerilyawan cerdik yang merasa berhutang budi pada tukang angon Bebek, usai masa peperangan.
Hari ketika perang, satu regu gerilyawan harus jalan kaki hindari pasukan lawan. Karena lelah, seorang dari mereka tertidur dalam sebuah gubuk, ketika dia bangun sudah banyak serdadu lawan mengepung area. Dengan gerak senyap dia merayap diantara tanaman padi. Selang beberapa menit bertemu dengan penggembala Bebek, setelah ada pembicaraan, jadilah dia menyaru sebagai penggembala Bebek agar bisa lolos dari kepungan serdadu lawan.
Lolos dari kepungan lawan atas jasa penggembala Bebek, jadi pengalaman terdalam bagi Moehadi. Setelah perang reda, dia punya tekad untuk memberi tambahan penghasilan bagi penggembala Bebek. Dia pernah belajar mengawetkan olahan telur Bebek dengan garam, serbuk batu bata dan abu gosok. Olahan itu didiamkan lebih dari seminggu, lalu direbus agar menjadi Telor Asin.
Tak ada keterangan Moehadi belajar dari siapa, yang jelas belum banyak petani penyedia telur bebek di Brebes. Untuk berburu telur segar dari penggembala atau biasa disebut 'telur pangon' mantan gerilyawan itu perlu menuju daerah Karawang Jawa Barat.
Moehadi muda mulai meproduksi Telur Asin, untuk penjualannya dia titipkan pada toko-toko milik Tiong Hwa dan beberapa pedagang tertentu di pasarinduk.
***
Tapak waktu terus laju, Moehadi menjadi penyalur Telur Asin yang cukup dikenal warga. Kepada kolega dagang Tiong Hwa, diapun sering bertukar pikir tentang keinginan pembeli atas Telur Asin olahannya. Moehadi sudah meninggal, namun riwayat tentang Telur Asin warisan Gerilya tak banyak yang tahu.
Brebes, 10 Januari 2013
Bustanul Bokir Arifin
Langganan:
Postingan (Atom)