Total Tayangan Halaman

Rabu, 15 Desember 2010

Kisah Paidi dan Amijo

Rabu (15/12), tengah hari sengaja temui Paidi (32) di rumahnya dusun Tritis desa Girikerto kecamatan Turi kabupaten Sleman DIY. Rumah itu berdinding kayu dengan alas tanah, di serambi ada beberapa onggok kayu bakar dan sebuah batu asah. Pada sisi rumah ada beberapa drum penampung air hujan, ya alat tadah hujan untuk sediaan air bersih.

Paidi selalu saja menjabat tangan dengan hangat dan senyum khas, sambil berkata "Kami senang bila ada kawan baru, dan tidak hanya ingat saat masa darurat merapi," ujar Paidi.

Berawal dari pembicaraan tentang kondisi dusun penuh timbunan debu vulkanik, sekelebat kepak sayap elang Jawa, Paidi menitikkan air mata, "Iya, memang hal yang salah namun aku harus melakukannya, demi nenek," papar Paidi.

***

Mayoritas warga dewasa di dusun Tritis anggap Amijo (80) perempuan sepuh ini sebagai pribadi yang unik. Keseharian waktu selalu diisi dengan kerja mencari rumput untuk ternak dan merawat kebon salak siapapun. Karena rutinitas yang unik Amijo dianggap warga ; jadi wadah spirit Ki Sapu Jagad, salah satu spirit penunggu Gunung Merapi.

"Geluduk dari Utara yang kemarin (erupsi Merapi) itu pengalaman yang ke sembilan, dan Amijo tidak pernah turun ke bawah," kilah Prijo (72) salah satu saudara Amijo.

Demikianlah, warga dusun Tritis sadar benar, bahwa sejak jabang bayi hidup di sekitar gunung berapi, gempa vulkanik sudah berkali-kali mereka rasakan, "Kami tidak mencatat tahun-tahun amuk dari Utara, namun kami mengalami turun gunung sejak jalan masih setapak hingga beraspal," tambah Prijo.

Salah satu sikap sosial Amijo yang selalu membuat kaget warga adalah kepeduliannya pada tumbuhan di kebun, baik ubi kayu hingga salak selalu dirawat dengan tangannya, tanpa memperdulikan pemilik kebun.

***

Sepanjang bertutur kisah, bulir-bulir air mata sesekali curi tetes dari sudut mata Paidi, dia menjaga betul rasa hormat kepada neneknya. "Sejak ada hujan krakal dari arah Utara, sebagian kecil warga tidak turun gunung. Mereka tetap bertahan untuk mengurus ternak dan kebun. Bahkan ada yang bolak-balik naik turun gunung," kata Paidi.

Selama masa gawat di sekitar puncak Merapi, Paidi tidak melupakan tugas utama merawat Amijo dan cari rumput untuk 3 kambing peliharaannya. Sedangkan istri dan anak perempuannya dititipkan pada pos penampungan korban merapi sejauh 20 kilometer lebih dari rumahnya.

Minggu pertama sejak amuk Utara, tidak ada penjagaan ketat di jalan-jalan menuju dusun. "Waktu itu perjalanan tetap lancar untuk antar makanan bagi nenek. Lalu mulai hari ke 6 ada penjagaan dari Polisi dan Tentara (TNI), kalau dicegat mereka, saya tantang untuk antar makanan atau rumput yang kubawa menuju rumah. Semua tidak ada yang terima tantangan itu," ujar Paidi.

Abu-abu adalah warna dominan dusun, karena abu dan material vulkanik seolah tumpah ke segala sudut tempat, "Sulit sekali mencari warung makan yang ada, karena kalau nasi bungkus dari bantuan itu cepat basi bila dibawa ke rumah nenek Amijo. Jadi usai potong rumput di lokasi yang tidak diselimuti abu, aku mencari warung untuk beli nasi dan lauk kesukaan nenek," papar Paidi.

Sementara 250 meter di sebelah Timur dusun mengular Kali Bedog, hulu sungai yang melintas di jalur-jalur utama kota kabupaten Sleman. Paidi melakukan misi ulang-alik dengan sepeda motor tua dan sebuah radio telekomunikasi HT (Handy Talky) yang dibeli di pasar Klitikan (loak). "Kami memang anggota Pasak Merapi, pengawas aktivitas puncak gunung. Radio ini untuk mengetahui gelombang sinyal seismograf yang dipancarkan oleh posko Induk Balerante. Sayangnya komponen panel radio ini sudah terganggu, namun tetap setia temani," tegas Paidi.

Misi ulang-alik Paidi sukses hingga hari ini, bahkan saat menuturkan kisah Amijo, sang nenek itu masih beraktifitas di ladang. "Kali ini masalah warga adalah air bersih, mata air memang sudah dibersihkan dari penghalang namun pipa paralon untuk menyalurkan air itu rusak, dan kami tidak punya dana untuk beli," tutur Paidi

"Kalau saja ada yang mau belikan aku Radio Komunikasi, aku akan bersyukur. Sebab seringkali dalam komunikasi antar pasak merapi, rumah ini menjadi Induk Informasi," tutup Paidi atas kisahnya.

Usai pamit, kami melihat Paidi mengambil arit dan mengasah pada batu asah samping rumah, hendak cari rumput untuk kambingnya.

Bustanul Bokir Arifin
Kamis 15 Desember 2010

Tidak ada komentar: